Kamis, 08 November 2012

KONSEPTUALISASI MODEL DALAM KONSELING









  A.  Pengertian Konseptualisasi Model dalam Konseling
       Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk  menggambarkan  gejala  secara  abstrak,  contohnya  seperti  kejadian,  keadaan,  kelompok.  Diharapkan  peneliti  mampu  memformulasikan  pemikirannya  kedalam  konsep  secara  jelas  dalam  kaitannya  dengan  penyederhanaan  beberapa  masalah  yang  berkaitan  satu  dengan  yang  lainnya.
Untuk menjelaskan definisi tentang sebuah makna kata konsep, para ahli juga memiliki pandanagan yang berbeda. Berikut ini adalah definisi konsep menurut para ahli :
1.    Woodruf mendefinisikan konsep sebagai suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu.
2.    Dari wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Pengertian Konsep sendiri adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap extensinya. Konsep juga dapat diartikan pembawa arti.
3.    Soedjadi mendefinisikan konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk menagadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangakaian kata.
4.    Bahri menjelaskan konsep adalah satuan ahli yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama.
Konseptual adalah batasan pengertian tentang konsep yang masih bersifat abstrak yang biasanya merujuk pada definisi yang ada pada buku-buku teks atau tulisan imiah.
Ada berbagai macam definisi dari konseptualisasi diantaranya:
1.      “Conceptualization Is the process of identifying and clarifying concepts; through which we specify what we mean by using certain terms” Konseptualisasi adalah proses mengidentifikasi dan menjelaskan konsep-konsep; dimana kita menentukan apa yang kita maksud dengan menggunakan istilah tertentu.
2.      Indicators indicate the presence or absence of the concept we are studying. These often are multi-dimensional; they have more than one specifiable aspect of facet. E.g.  happiness.” Indikator menunjukkan ada atau tidak adanya konsep yang kita pelajari. Ini sering disebut multi-dimensi, mereka memiliki lebih dari satu aspek specifiable dari facet. Misalnya kebahagiaan.
3.      Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada gejala-gejala pengamatan. Proses ini berjalan secara induktif, dengan mengamati sejumlah gejala secara individual, kemudian merumuskannya dalam bentuk konsep. Konsep itu sifatnya abstrak, sedangkan gejala itu bersifat konkrit. Konsep berada dalam bidang logika (teoretis), sedangkan gejala itu berada dalam dunia empirik (factual). Memberikan konsep pada gejala itulah yang disebut dengan konseptualisasi.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konseptualisasi masalah dalam konseling merupakan proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada masalah yang dialami konseli dengan tujuan agar konseli mampu menyelesaikan masalah yang dialaminya secara mandiri.

B.  Model Konseptualisasi Masalah dalam Konseling
Berikut ini model-model konseptualisasi masalah dalam konseling:
1)   Model Konseptualisasi Masalah menurut Swesen
Contoh Kasus :
Seorang anak laki-laki yang bernama Rian, dia siswa kelas X di salah satu SMA Swasta yang mempunyai bakat dalam hal berenang. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa keluarganya tidak bersikap adil  terhadapnya karena keluarganya selalu menganggap kakaknya lebih unggul dari rian dan hal tersebut mengakibatkan rian merasa tertekan. Dia menampakkannya dengan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan mengikuti test.
Tabel Model konseptualisasi masalah dari Swensen

PERILAKU MENYIMPANG
TEKANAN KEBIASAAN ADAPTIF (KEADAAN LINGKUNGAN YANG TIDAK MENDUKUNG
DUKUNGAN POTENSI KEBIASAAN ADAPTIF
HASIL DUKUNGAN POTENSI KEBIASAAN ADAPTIF
Memulai perkelahian

Memiliki kakak laki-laki yang lebih unggul
Konselor bersedia membantu memecahkan masalah klien
Kinerja dalam kompetisi baik
Mengambil milik teman
Hubungan dengan orang tua tidak harmonis
Pelatih renang ingin membantu agar klien tetap menjadi anggota team renang
Mengikuti latihan renang secara teratur
Menentang guru
Kelas yang tak teratur
Kesehatan baik
Mengerjakan tes dengan jujur
Kurang bertanggung jawab
Merasa cemas dalam situasi yang tak teratur, khususnya di sekolah
Menjadi anggota team renang
Dapat mengikuti instruksi pelatih renang


Skor IQ tinggi
Secara umum dapat menampilkan dirinya dengan baik dalam situasi kompetitif dan terstruktur


Pola makan dan tidur baik



Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk beberapa hal, diantaranya :
·      Pertama, model Swensen dapat digunakan oleh konselor untuk melihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada diri kliennya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis menyangkut masalah klien.
Hal ini dapat dilihat dari hasil contoh kasus yang telah dikemukakan maka dapat memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak laki-laki yang menampakkan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku klien, meliputi (tetapi tidak terbatas) hal-hal berikut :
1.        Terdapat banyak kompetisi di dalam diri klien dan saudaranya yang lebih tua untuk memperoleh perhatian orang tua. Klien seringkali merasa bahwa saudaranya lebih banyak mengalahkan dirinya.
2.        Klien tidak pernah merasa harus bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya.
3.        Klien mungkin merasa bahwa masalahnya memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan perkawinan orang tuanya.
4.        Klien merasa tidak senang dalam suatu situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan bukti respon adaptif dalam situasi yang terstruktur dan agak kompetitif. Kenyataannya, klien sepertinya dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia mampu berenang dengan baik.
·      Kedua, model Swensen dapat membantu konselor untuk memutuskan macam pendekatan perlakuan yang manakah (atau kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk membantu klien. Seringkali keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model teoritik, perkiraan, dan dikaitkan dengan potensi/kekuatan.
Hal ini dapat dilihat pada konselor yang menggunakan pendekatan berpusat pada pribadi (person-centered) mungkin memusatkan perhatian pada kurangnya kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri klien. Konselor dari pendekatan realita mungkin memperhatikan pada perilaku tidak bertanggung jawab klien dan bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil tanggung jawab bagi tindakan-tindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih memusatkan perhatian pada situasi kompetitif antara klien dan saudaranya dan berupaya membantu klien memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa memiliki yang lebih baik, di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif analisisis transaksional akan memandang klien dalam hubungannya dengan orang lain dari kondisi “ego anak” nya dan kemudian berusaha menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah perilaku klien. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi, atau tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian klien, seperti dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan klien, dan juga pada gagasan introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat klien. sedangkan para konselor kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku maladaptif klien dan kemudian berusaha untuk membantu klien untuk menghentikan atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif.
Pada konseling keluarga (family counseling) akan memusatkan perhatian pada peran dan batas-batas hubungan keluarga klien dan pada hubungan perkawinan orang tuanya. Sedangkan para konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada pengubahan sebab-sebab yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif klien dan kemudian memperkuat kebiasaan perilaku adaptif klien. Idealnya, keputusan tentang pendekatan mana yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu teori konseling tertentu.
Alih-alih mengedepankan preferensi teoretiknya, konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki kemungkinan paling baik untuk membantu klien memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkannya.
·      Ketiga, cara yang lebih umum dimana model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang dalam denominator. Menurut Swensen, “Banyak penurunan dalam faktor numerator formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan) dapat mengurangi defisit psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang didaftar di dalam denominator (kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan adaptif)” dapat meningkatkan kesehatan psikologis.”

2)   Model Konseptualisasi Masalah menurut Seay
Model konseptualisasi masalah dari Seay  mengintegrasikan teknik konseling dan isi tematik. Model ini didasarkan pada tema hidup utama (dan gaya hidup) yang ditarik dari tiga modalitas utama fungsi manusia yaitu: kognisi (pikiran), afeksi (perasaan, emosi), dan perilaku (tindakan, kinerja), yang diberi akronim “CAB.”
Contoh kasus :
Klien adalah seorang siswa kelas VIII dengan jenis kelamin perempuan yang menyatakan tidak memiliki banyak pilihan karena ia takut untuk pergi ke sekolah sendirian. Ia juga melaporkan mengalami depresi yang disebabkan oleh kritik terus-menerus dari saudara-saudaranya karena ketergantungannya itu. Klien juga mengalami gangguan tidur dan kehilangan selera makan. Dari wawancara yang mendalam dengan klien diperoleh informasi bahwa klien hidup dalam keluarga dengan ayah yang keras dalam mendidik. Klien juga menyatakan, sebagai seorang anak ia sabar menghadapi kekerasan ayahnya. Terhadap kritikan saudara-saudaranya, ia hanya mendengarkan saja dan tidak memberikan tanggapan, meskipun ia menyatakan merasa “bosan” dan “terganggu” dengan kritikan yang terus menerus itu. Klien juga menyatakan keyakinannya bahwa ia seorang yang gagal dan tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri. Namun, data hasil tes menunjukkan bahwa ia sangat intelegen. Prestasi belajar klien juga tergolong bagus karena ia berada pada ranking sepuluh besar di kelasnya. Selama wawancara awal, ia seringkali menangis dan berbicara dengan suara yang lirih dan tersendat-sendat.
Tabel Model konseptualisasi masalah darai Seay
KEMUNGKINAN LINGKUNGAN
KESALAHAN KOGNITIF
GANGGUAN AFEKTIF POLA PERILAKU
Cara mendidik ayah yang keras
Pikiran gagal
Kecemasan/ketergantuang emosional
Saudara terus-menerus mengkritik
Menyalahkan diri
Tak dapat pergi ke sekolah sendirian


Kurang percaya diri

Mendiamkan kritikan saudara-saudaranya meskipun merasa bosan dan terganggu


Bicara pelan, tersendat


Gangguan tidur


Kehilangan nafsu makan


Kadang menangis dalam wawancara

Informasi yang diungkap tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan hipotesis tentang masalah klien dan untuk merencanakan suatu program bantuan yang komprehensip. Sebagai contoh, dalam kasus yang telah dikemukakan, satu dari tema utama adalah kognitif dan meliputi persepsi negatif tentang diri. Tema ini barangkali berawal dari kekerasan ayahnya dan yang kemudian diperkuat/dipertahankan melalui kritikan yang terus menerus dari audara-saudaranya. Meskipun kekasaran verbal yang terus menerus tampak memberikan sumber tekanan, klien tampaknya juga menggunakannya sebagai alat untuk menguatkan atau membenarkan persepsinya terhadap dirinya sebagai orang tergantung dan gagal, dan mendorongnya untuk menghindari situasi yang mendatangkan kecemasan, seperti berangkat ke sekolah sendiri.
Gangguan afektif dalam bentuk kecemasan dan depresi mewakili perasaan marah dan tidak puas yang ditekan di dalam batin. Emosi tersebut, seperti tema kognitif, menegaskan kurang adanya rasa percaya diri atau cara klien mencela/mengutuk dirinya. Emosi ini sebagai hasil dari peristiwa lingkungan dan kesalahan persepsi. Perilaku-perilaku yang dapat diamati seperti menangis, bicara pelan dan tersendat, gangguan tidur, dan kehilangan berat badan mengkonfirmasikan laporan klien tentang perasaan depresifnya. Kesalahan persepsi kognitif dan gangguan afektif tersebut mendukung klien untuk bertindak pasif terhadap kritikan saudaranya. Untuk perencanaan perlakuan, fokus awal konselor dapat memusatkan perhatian pada peristiwa lingkungan dan kesalahan kognitif klien yang menyebabkan terbentuknya pola perilaku dan emosi maladaptif. Sebagai contoh, klien mungkin dapat dibantu dengan menggunakan strategi Gestalt, analisis transaksional, atau latihan asertif untuk mengeksplorasi perasaan-perasaannya yang berkaitan dengan kekasaran ayah dan saudaranya (peristiwa lingkungan) dan kemudian membantunya mengubah reaksinya terhadap tekanan lingkungan tersebut. Teknik-teknik kognitif-perilaku dan rasional-emotif mungkin juga efektif untuk menangani kesalahan persepsi atau kognisi klien. Konselor juga dapat membantu klien melalui strategi perilaku dengan cara melatih klien untuk berangkat ke sekolah sendirian.
3)   Model Asesmen: Analisis masalah dari Lazarus
Lazarus  menyatakan adanya tujuh modalitas yang dapat dijadikan sebagai fokus asesmen masalah klien. Ketujuh modalitas tersebut dinyatakan dalam akronim “BASIC ID” dan terdiri atas: perilaku (behavior), emosi (affect), sensasi (sensation), imajeri (imagery), kognisi (cognition), relasi interpersonal (interpersonal), dan tampila fisik (drug). Setiap modalitas tersebut berinteraksi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah penjelasan dari msing-masing modalitas tersebut.
B
Behavior (perilaku, tindakan yang kasat mata)
Modalitas ini berisikan aktivitas dan keterampilan-keterampilan psikomotor yang sederhana dan kompleks seperti tersenyum, berbicara, menulis, makan, merokok, dan sebaginya.
A
Affect (emosi, perasaan)
Modalitas ini meliputi perasaan atau emosi yang dilaporkan oleh klien. Termasuk didalam kategori ini adalah perasaan-perasaan khusus yang muncul atau tidak muncul di samping perasaan yang tersembunyi atau didistorsikan.
S
Sensation (perasaan tubuh)
Modalitas ini berisikan lima penginderaan utama dalam kaitannya dengan proses sensory informasi, yakni: visul (sight), kinesthetic (touch), auditory (hearing), olfactory (smell), dan gustation (taste). Modalitas juga berkaitan dengan keluhan-keluhan perasaan tubuh yang dilontarkan klien seperti sakit atau gangguan perut atau kepala pusing. Konselor perlu peka terhadap sensasi yang dilaporkan dengan senang dan tidak senang di samping sensasi yang tidak disadari klien.
I
Imagery (imajeri)
Imagery terdiri atas macam “gambaran mental” yang sangat mempengaruhi kehidupan klien. Sebagai contoh, seorang suami yang berprasangka bahwa isterinya telah berselingkuh (punya pria idaman lain atau PIL), tentu akan merasakan tekanan (terganggu) karena ia mengembangkan suatu gambaran terus menerus atau imej mental tentang isterinya yang tidur dengan pria lain.
C
Cognition (kognisi)
Kognisi adalah pikiran dan keyakinan klien tentang diri, lingkungan, pengalaman, dan masalah yang sedang dialaminya. Gangguan perilaku timbul karena klien memiliki kognisi – pikiran, persepsi, dan keyakinan – yang negatif, tidak realistis, atau tidak rasional.
I
Interpersonal
(relasi interpersonal)
Banyak ahli dari perspektif psikodinamik telah menekankan pentingnya hubungan interpersonal. Menurut Lazarus, masalah yang berkaitan dengan relasi interpersonal dapat dideteksi tidak hanya melalui laporan diri dan bermain peran tetapi juga dengan mengamati hubungan konselor-klien.
D
Drug (tampilan fisik)
Drug merupakan suatu modalitas yang penting dalam asesmen, karena faktor-faktor biologis dan neurologis dapat mempengaruhi perilaku, respon afektif, kognisi, sensasi, dan sebagainya. Asesmen modalitas ini dapat meliputi: (1) penampilan menyeluruh – cara berpakaian, gangguan kulit atau bicara, saraf, gangguan psikomotor; (2) keluhan fisik atau penderitaan fisik; dan (3) kesehatan umum – kebugaran tubuh, olah raga, diet, nutrisi, hobi, minat, kegemaran, dan pengisian waktu luang.

4)   Model Konseptualisasi Masalah ABC
Konseptualisasi perilaku ABC adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku bermasalah dan peristiwa lingkungan. ABC adalah akronim dari Antecedent (anteseden) atau pristiwa-peristiwa yang mendahului atau ada sebelum perilaku, Behavior (perilaku), dan Consequences (konsekuensi) atau peristiwa-peristiwa yang mengikuti perilaku dan berpotensi mempertahankannya Model ini menyatakan bahwa B dipengaruhi oleh A dan C, atau B merupakan fungsi dari A dan C. A dan C memberikan penjelasan berkenaan dengan bagaimana seseorang bertindak B dalam suatu situasi. Sebagai contoh, perilaku marah (B) terjadi karena seseorang menemukan sesuatu yang tidak memuaskannya (A) dan perilaku marah itu dipertahankan atau diperkuat oleh reaksi-reaksi dari orang lain yang berupa ketakutan, membujuk, minta maaf, dsb. Mengikuti model ini, wawancara asesmen atau studi kasus perlu memusatkan perhatian pada upaya mengidentifikasi peristiwa-peristiwa antaseden dan konsekuensi yang mempengaruhi atau berhubungan secara fungsional dengan gangguan perilaku klien.
Contoh lain adalah perilaku berbicara. Perilaku berbicara kita selalu disebabkan oleh tanda-tanda tertentu, seperti adanya orang lain yang menstimulasi kita untuk mengajaknya berbicara, atau karena ada orang lain yang mengajukan pertanyaan pada kita atau membuat perilaku tertentu sehingga mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan. Antaseden yang mungkin dapat memperlemah keinginan kita untuk berbicara dapat meliputi antara lain adanya perasaan takut jika tidak mendapatkan persetujuan/tanggapan positif terhadap apa yang kita bicarakan atau bagaimana kita akan menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul. Perilaku berbicara kita dapat dipertahankan oleh perhatian verbal dan nonverbal yang kita terima dari orang lain itu. Konsekuensi positif yang lain yang dapat menjaga perilaku berbicara kita adalah adanya perasaan senang, atau bahagia ketika kita berbicara dengan orang. Kita mungkin tidak akan bicara banyak jika orang yang sedang kita ajak bicara tidak memperhatikan (memandang) kearah kita (menatap kemana-mana).
Perilaku (B) meliputi perilaku yang tampak dan tidak tampak. Perilaku tampak adalah perilaku yang dapat dilihat secara langsung seperti berbicara, tersenyum, menangis, berjalan, menulis, dan sebaginya. Perilaku tidak tampak atau tertutup meliputi peristiwa-peristiwa internal di dalam diri klien dan tidak dapat dilihat atau diamati secara langsung, tetapi dapat dideteksi melalui ekspresi non verbal atau laporan diri klien. Contoh perilaku nonverbal adalah berpikir, berkeyakinan, image, dan merasa. Setiap gangguan perilaku hampir selalu memiliki lebih dari satu komponen. Sebagai contoh, seorang klien yang mengeluh “cemas” atau “depresi” mungkin melibatkan komponen afektif (pernyataan perasaan, suasana hati), komponen somatik (sensasi yang berkaitan dengan tubuh dan fisiologis), komponen perilaku (apa yang dilakukan dan tidak dilakukan klien), dan komponen kognitif (pikiran, keyakinan, image, atau dialog internal). Dan lagi, pengalaman kecemasan atau depresi dapat bervariasi untuk klien, tergantung pada faktor-faktor kontekstual (waktu, tempat, peristiwa yang terjadi bersamaan) dan pada faktor relasional seperti ada atau tidak adanya orang lain.  Semua komponen tersebut dapat dikaitkan dengan suatu problem khusus yang dilaporkan. Sebagai contoh, anggaplah bahwa klien kita yang menyatakan “merasa cemas” adalah takut dengan perbuatan yang mengandung resiko di masyarakat kecuali di rumah atau di tempat kerja. Ia menyatakan bahwa kecemasannya nampak menjadi bagian dari rangkaian yang berawal dari munculnya pikiran bahwa ia tak mampu untuk memecahkan atau memperoleh bantuan dari orang lain jika perlu (komponen kognitif). Komponen kognitif tersebut menyebabkan klien sering merasa ketakutan (afektif) dan berkeringat dingin atau denyut jantungnya meninggi (somatik). Tiga komponen tersebut bekerja bersama-sama mempengaruhi perilaku tampak klien.
Berbagai bentuk perilaku dan reakasi-reaksi emosional dan somatik seperti marah, takut, gembira, pusing, atau meningkatkan tekanan darah disebabkan oleh adanya peristiwa-peristiwa yang mendahului atau stimuli (Anteseden). Anteseden mempengaruhi perilaku dengan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan kejadiannya. Sebagai contoh, seorang siswa kelas satu SD dapat bertindak secara berbeda ketika di sekolah dan di rumah, atau berbeda terhadap guru tetap dan guru pengganti. Suatu anteseden yang berdekatan dengan perilaku menyimpang secara teknis disebut stimuli. Berbagai bentuk anteseden itu antara lain adalah usia, taraf perkembangan, keadaan fisiologis, karakteristik kerja, rumah, atau kondisi sekolah, dan perilaku-perilaku lain yang muncul dan mempengaruhi perilaku-perilaku berikutnya.
Anteseden juga dapat bersumber pada komponen afektif (pernyataan perasaan, suasana hati), perilaku (respon verbal, nonverbal, dan motorik), kognitif (pikiran, keyakinan, image, dialog internal), kontekstual (waktu, tempat, peristiwa yang terjadi bersamaan), dan relasional (ada atau tidak adanya seseorang). Sebagai contoh, seorang klien yang menyatakan “cemas” mungkin berkaitan dengan takut kehilangan kontrol (kognitif/afektif), memiliki persepsi negatif tentang diri dan orang lain (kognitif), kesadaran tentang sensasi tubuh yang berkaitan dengan ketakutan, kelelahan, dan kecenderungan hypoglycemic (somatik), bangun terlambat (perilaku), menghadiri tempat umum (kontekstual), dan tidak adanya orang lain yang dekat dengan dirinya seperti teman dan keluarga (relasional).
Di samping itu, juga terdapat variasi sumber anteseden yang dapat meniadakan kecemasan, seperti perasaan rileks, atau mengurangi ketakutan terhadap terjadinya peristiwa (afektif), istirahat (somatik), makan dengan teratur atau mengurangi perilaku tergantung pada orang lain (perilaku), menilai diri dan orang lain dengan positif (kognitif), dan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain (relasional). Pengaruh anteseden pada perilaku dapat bervariasi, tergantung pada pengalaman belajar tiap individu. Tidak segala sesuatu yang mengikuti perilaku secara otomatis dipandang sebagai konsekuensi (C). Sebagai contoh, anggaplah Anda sedang melakukan konseling dengan seorang siswa putri yang kelebihan berat tetapi menyenangi kegiatan pesta dan makan-makan. Klien tersebut menyatakan bahwa dirinya merasa bersalah setiap kali habis persta makan dan memandang dirinya menjadi tidak menarik, dan mengalami gangguan tidur. Meskipun peristiwa-peristiwa tersebut sebagai hasil dari perilaku pesta makan, itu bukanlah konsekuensi, kecuali ia dapat mempengaruhi kesenangan klien untuk persta makan. Dalam kasus ini, peristiwa-peristriwa lain yang mengikuti perilaku pesta makan dapat menjadi konsekuensi yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, barangkali perilaku senang makan dapat dipertahankan melalui kenikmatan yang ia peroleh ketika makan. Perilaku tersebut untuk sementara waktu mungkin dapat dikurangi bila orang lain, misalnya kekasihnya, menegurnya atau menolak pergi dengannya untuk bermalam mingguan. Konsekuensi dapat berbentuk ganjaran atau hukuman. Ganjaran adalah sesuatu yang menyenangkan mengikuti munculnya perilaku yang diharapkan. Sedangkan hukuman adalah sesuatu yang tak menyenangkan mengikuti munculnya perilaku. Seperti halnya anteseden, sesuatu yang berfungsi sebagai konsekuensi dapat bervariasi dari klien ke klien. Seperti halnya anteseden, konsekuensi juga selalu memiliki lebih dari satu sumber atau tipe peristiwa. Sumber-sumber konsekuensi tersebut dapat bersifat afektif, somatik, perilaku, kognitif, kontekstual, dan/atau relasional.
Individu juga cenderung untuk bertindak dalam suatu perilaku yang memiliki banyak payoffs. Payoff adalah sesuatu yang segera diperoleh oleh individu mengikuti perilakunya. Sebagai contoh, seorang klien terus menerus merokok bahkan meskipun untuk itu ia kehilangan banyak uang karena ia menyenangi perasaan yang segera diperolehnya ketika merokok, dan merokok dapat membantunya menangani tekanan. Seorang klien laki-laki terus-menerus mengeluarkan kata-kata kasar terhadap kekasihnya bahkan meskipun hal itu sering menimbulkan ketegangan, karena dengan kekasarannya itu ia memperoleh perasaan kuasa dan kontrol. Dalam dua contoh tersebut, perilaku bermasalah seringkali sulit berubah, karena konsekuensi yang dengan segera membuat orang merasa lebih baik. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa anteseden, konsekuensi, dan komponen-komponen masalah harus ditaksir dan diidentifikasi untuk setiap klien karena komponen-komponen tersebut berlakunya dapat bervariasi antara klien ke klien. Demikian pula penting juga untuk diingat bahwa seringkali terdapat banyak overlap di antara anteseden, konsekuensi, dan komponen perilaku bermasalah.
Tabel model konseptualisasi ABC

A
B
C
Tidak pernah puas dengan keadaan
Marah
Dijauhi teman
Merasa kurang mampu dalam mapel tertentu
Minder
Tidak dapat berkembang (pasif)
Keadaan fisiknya terlalu kegemukan
Malu, minder
Diejek teman-teman
Cita-cita tidak disetujui oleh orang tua
Marah
Frustasi
Kondisi kesehatan menurun
Kurang PD
Kurang dekat dengan teman-teman


C.  ANALISIS MASALAH
1.      Pengertian Analisis Masalah
Dalam menguraikan suatu pokok masalah, kita perlu melakukan analisa masalah. Analisa menurut kamus bahasa Indonesia berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan atau perbuatan) untuk mengetahui keadaan sebenarnya (baik sebab maupun duduk perkara). Sehingga dengan melakukan suatu analisa, kita bisa menguraikan pokok permasalahan dari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Berikut ini adalah pengertian dan definisi analisa:
a.    JEFFREY LIKER
Analisa adalah waktu untuk mengumpulkan bukti, waktu untuk berulangkali bertanya "mengapa?" dan untuk menemukan sumber suatu masalah, yaitu akarnya
b.    Dwi Pratowo Darminto dan Rifka Julianty, memberikan definisi lain mengenai pengertian analisis. Menurut mereka analisis adalah sebuah langkah penjabaran sebuah permasalahan dari setiap bagian dan penelaahan bagian itu untuk mendapatkan pemahaman yang tepat serta arti yang keseluruhan dari masalah tersebut.
c.    Menurut Komaruddin, analisis merupakan sebuah aktivitas berpikir untuk menguraikan sebuah masalah yang menyeluruh menjadi beberapa bagian. Dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri dari setiap komponen tersebut, serta bagaimana hubungan yang ada pada masing-masing komponen beserta fungsinya sehinga bisa membentuk sebuah kesatuan yang memiliki makna baru.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis masalah merupakan aktivitas berpikir untuk menguraikan suatu masalah menjadi lebih rinci berdasarkan data-data yang diperoleh.

2.      Fungsi Analisa
Analisa merupakan sebuah komponen yang harus ada dalam setiap aktivitas penelitian. Tanpa adanya analisa, maka sebuah penelitian yang dilakukan tidak akan bisa didapatkan sebuah nilai tambah yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ada beberapa fungsi yang menjadikan analisa atas sebuah masalah menjadi hal penting. Beberapa fungsi dari suatu analisa adalah :
1.    Analisa diperlukan sebagai upaya untuk mengenali dan proses identifikasi dari permasalahan yang ada pada penelitian yang dilakukan. Dengan demikian, pada nantinya, dari permasalahan yang muncul bisa diurai satu persatu mengenai apa saja yang memiliki hubungan atas munculnya sebuah masalah pada obyek penelitian.
2.    Analisa diperlukan untuk bisa memberikan keterangan secara spesifik dan terperinci mengenai hal-hal apa saja yang akan dicapai dalam upaya memenuhi kebutuhan dari obyek penelitian.
3.    Analisa yang tepat akan mempengaruhi kesimpulan sebuah penelitian. Untuk itu, dalam melakukan analisa atas hasil penelitian, seorang peneliti harus melakukan dengan hati-hati serta memperhitungkan berbagai macam faktor dan data yang didapat dalam penelitian tersebut.
4.    Hasil analisa akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan sebuah tindakan yang memiliki nilai lebih pada obyek penelitian. Dengan kata lain, hasil analisa akan mempengaruhi pembuatan kebijakan atau strategi.
5.    Analisa akan dibutuhkan sebagai media untuk mencari jalan alternatif atas permasalahan yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Hal ini bisa dimungkinkan karena dalam proses analisa akan dilakukan tahapan penguraian masalah secara detail.
Analisa merupakan tahapan awal dalam proses perencanaan serta penerapan rancangan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dari obyek penelitian.

3.         Peran Analisa
Dengan adanya beberapa manfaat dari sebuah proses analisa tersebut, menunjukkan bahwa proses analisa ini memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kemajuan sebuah organisasi.
1.    Dengan analisa, sebuah organisasi akan bisa bergerak dari kondisi yang sudah ada, menuju pada kondisi yang lebih baik lagi.
2.    Selain itu, peran dari analisa adalah bisa melakukan deteksi apabila terjadi permasalahan dalam sebuah organisasi. Sehingga apabila ada hal yang kurang beres atau muncul kesalahan baik yang disegaja atau tidak bisa dicegah sejak awal.
3.    Melalui proses analisa, kita bisa melihat adanya kesempatan dalam aktiivtas yang kita lakukan. Sebab, dengan analisa ini kita bisa melihat potensi dan kekuatan yang ada pada diri sebuah kelompok  dan juga kesempatan yang terbuka. Selain itu, melalui proses analisa akan bisa ditentukan langkah yang bijak untuk menciptakan proses komando atau perintah dari setiap garis kelompok yang ada secara tepat.

4.      Ruang Lingkup Permasalahan Siswa
Sumber: Miller, F. W..( faizperjuangan.files.wordpress.com/)Guidance; Principles and Services, Ohio: Charles  E. Merrils Books, Inc.
1.        Kondisi keluarga/rumah dan lingkungan
2.        Pengalaman atau latar belakang pendidikan sebelumnya
3.        Problem kesehatan
4.        Kemampuan dan Bakat
5.        Minat
6.        Aktivitas Luang
7.        Penyesuaian diri (sosial dan emosional)
8.        Pengalaman kerja
9.        Perencanaan dan Manajemen Diri
Problem-problem yang muncul dalam dunia pendidikan menengah sering diasosiasikan dengan problem-problem khas remaja (Sumber: Noonan, E. Counseling Young People, London & New York: Tavistock/Routledge). Menurut Noonan, proses konseling yang dilakukan terhadap remaja hendaknya terfokus pada aspek perkembangan psikologis remaja, yaitu periode transisi dari remaja menuju dewasa.
Adapun kecenderungan permasalahan yang muncul, seperti:
1.    Krisis identitas dan peran model (teori krisis perkembangan Erikson)
2.    Problem seksualitas dan kesehatan reproduksi
3.    Relasi dengan teman sebaya, orang tua, dan lingkungan masyarakat
4.    Rasa ingin tahu yang besar (curiosity)

5.      Sistematika Analisis Kasus
Dalam menghadapi suatu kasus yang dialami oleh seseorang, terdapat tiga fokus penting yang perlu didenahkan secara sistematis, yaitu pemahaman, penyikapan, dan penanganan.
Ø Tujuan Pemahaman kasus
a.         Mengetahui lebih mendalam dan detail berbagai seluk-beluk kasus atau masalah
b.        Mendeskripsikan konsep atau ide-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab dan akibat.
Ø Penyikapan
Pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan terhadap subjek dan objek masalah yang disikapi. Unsur kognisi mengacu pada wawasan, ideologi, dan pemikiran konselor tentang kodrat eksistensi manusia, hakikat dimensi kemanusiaan dan pengembangannya, pengaruh lingkungan, dan lain-lain (asumsi filosofis, sosio-antropologis, dan psikologis). Unsur afeksi menyangkut suasana perasaan, emosi, dan kecenderungan sikap konselor kaitannya dengan permasalahan individu. Sedangkan unsur perlakuan (treatment) berkaitan erat dengan perencanaan tindakan dan bantuan yang akan diberikan.
Ø Penanganan
Penanganan kasus biasanya dipandang sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan konselor/guru atau helper lainnya terhadap kasus yang dialami oleh seseorang yang membutuhkan layanan. Secara khusus, penanganan kasus dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan khusus secara langsung yang diberikan pada subyek dan obyek masalah tertentu dengan tujuan teratasi dan terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan.
Dalam pengertian yang lebih klinis, sistematika analisis kasus lebih dikenal dengan tahapan-tahapan berikut ini: identifikasi masalah, diagnosis, prognosis, dan terapi.
Contoh analisis masalah:
1.    Identifikasi Kasus
Konseli adalah siswa SMP N 5 Adiwerna yang sekarang duduk di kelas VII, klien anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya bersekolah di SD N Pegirikan 03 kelas 2 dan yang satunya lagi masih berumur 3 tahun dan belum sekolah. Kondisi sosial ekonomi orang tua konseli cukup baik dan berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga yang aktif dalam organisasi di desa. Ayah konseli menjabat sebagai ketua RT di lingkungannya.
Setiap hari klien pergi ke sekolah dengan naik sepeda bersama teman-temannya karena jarak antara rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh. Kadang-kadang jika tidak banjir konseli juga berangkat dengan berjalan kaki menyeberangi sungai, dengan menyeberang sungai dapat mempersingkat waktu perjalanan dari rumah menuju sekolah.
Konseli termasuk pribadi yang mudah bergaul dengan teman-temannya. Dia bukan termasuk pribadi yang suka pilih-pilih teman. Tapi dalam prestasi belajar konseli mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan. Pada saat kelas 4 SD konseli tidak naik kelas, nilai mata pelajarannya kurang atau dibawah KKM. Sehingga gurunya mengambil keputusan konseli tidak naik kelas. Tapi untungnya setelah mengulang satu tahun konseli dapat naik kelas sampai lulus dari SD dan diterima di SMP Negeri.
Akhir-akhir ini klien merasa susah atau sulit berkonsentrasi saat belajar di rumah. Pada saat belajar kondisi rumah ramai karena kedua adiknya yang masih kecil sering ribut, dan klien tidak mempunyai kamar pribadi. Dia selalu berusaha untuk lebih baik karena dia tidak menginginkan masa lalunya terulang kembali. Konseli ingin selalu naik kelas dengan nilai yang baik. Tetapi pada saat konseli sudah mulai rajin belajar lingkungan rumahnya tidak mendukung.
2.    Analisis
Berdasarkan data yang telah terkumpul dari hasil wawancara, maka dapat dianalisis bahwa konseli pada dasarnya merupakan pribadi yang mudah bergaul, supel dan tidak suka pilih-pilih teman. Keluarganya juga cukup mampu jika dilihat dari segi ekonominya. Tetapi karena konseli mempunyai adik yang masih kecil-kecil ditambah tidak tersedianya kamar pribadi untuk konseli di rumah maka konseli merasa terganggu konsentrasinya saat belajar.
3.    Diagnosis
Berdasarkan data kasus yang diperoleh konselor maka dapat dinyatakan tentang diagnosis yang dialami konseli yaitu tentang sulitnya berkonsentrasi saat belajar dirumah karena kondisi rumah yang tidak mendukung, yaitu terlalu ramai.
Sebab-sebab munculnya kasus ini antara lain : konseli mempunyai adik-adik yang masih kecil dan sering ribut, karena ayah konseli bekerja sebagai wiraswasta maka banyak tamu yang datang kerumah, serta tidak tersedianya kamar pribadi untuk konseli di rumah. Orang tua konseli sudah berusaha menegur adik-adiknya jika sedang ribut, tapi yang ada mereka malah menangis dan suaranya tambah mengganggu konsentrasi belajar konseli.
Dalam menghadapi kasus ini konseli mempunyai dinamika psikis yang dapat dikategorikan :
Ø Dinamika psikis positif konseli ditunjukkan dengan perilaku :
a.    Konseli sudah bersedia mengemukakan masalahnya kepada konselor tanpa ragu-ragu dan tidak malu.
b.   Konseli nampak santai dalam bercerita kepada konselor.
c.    Dalam proses konseling, konseli mengikutinya dengan aktif.
d.   Konseli sudah berusaha belajar dengan rajin untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu yang tidak naik kelas.
Ø Dinamika psikis negatif konseli ditunjukkan dengan perilaku :
Konseli kurang terbuka kepada orang tuanya, dia tidak berani mengemukakan masalahnya kepada orang tuanya.
4.    Prognosis
Setelah dilakukan analisis dan diagnosa, maka alternatif bantuan yang perlu diberikan kepada konseli adalah :
a.    Memberikan pemahaman kepada konseli bahwa sebenarnya dia sudah mempunyai dasar yang kuat yang berupa semangat yang kuat untuk memperbaiki prestasi belajarnya.
b.    Membantu konseli supaya mampu menerima keadaan lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan keinginannya.
c.    Mencoba memberi alternative pemecahannya bagi konseli untuk mengatasi masalah yang dialaminya.
5.    Treatment
Pada masalah kurangnya konsentrasi belajar yang disebabkan kondisi rumah yang tidak kondusif yang menyebabkan konseli tidak dapat belajar dengan nyaman menggunakan pendekatan Realita, karena salah satu tujuan pendekatan ini adalah membantu konseli supaya mampu melepaskan dukungan lingkungan dan mengganti dengan dukungan pribadi. Dalam hal ini diharapkan konseli mampu menggunakan semangat belajarnya untuk dapat belajar dengan baik walaupun keadaan lingkungan rumahnya tidak mendukung.
6.    Evaluasi
a.    Penilaian Proses
Kegiatan konseling individu ini berjalan dengan lancar. Dalam mengikuti proses konseling, konseli selalu aktif dalam menceritakan masalah yang dialaminya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh konselor.
b.        Penilaian hasil
Setelah melakuakn kegiatan konseling, konseli mempunyai gambaran tentang bagaimana cara mengatasi keadaan lingkungan yang tidak mendukung dalam proses belajar.
7.    Tindak Lanjut
Memonitor perkembangan konseli.