Minggu, 25 Maret 2012

dongeng garam dan gula




DOGENG
GARAM DAN TELAGA

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak.
Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seprti orang yang tidak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkan dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

„Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya,’ ujar Pak Tua itu.
„Pahit. Pahit sekali,“ jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.

Pak Tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
„ Coba, ambil air dari telaga ini dan minumlah „
Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi,
 „Bagaimana rasanya?“

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
„Anak muda, dengarlah...Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap sama. Tetapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada 1 hal yang bisa kamu lakukan. LAPANGKANLAH DADAMU menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.“ 

Pak Tua lalu kembali memberikan nasihat,
„Hatimu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.“

Keduanya lalu beranjak pulang.  Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan „segenggam garam“ untuk anak muda lain yang sering datang kepadanya membawa keresahan jiwa.