A. Pengertian Konseptualisasi Model dalam Konseling
Konsep adalah istilah
dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan gejala
secara abstrak, contohnya seperti kejadian,
keadaan, kelompok. Diharapkan peneliti mampu
memformulasikan pemikirannya kedalam konsep
secara jelas dalam kaitannya dengan
penyederhanaan beberapa masalah yang berkaitan
satu dengan yang lainnya.
Untuk menjelaskan definisi tentang sebuah
makna kata konsep, para ahli juga
memiliki pandanagan yang berbeda. Berikut ini adalah definisi konsep menurut
para ahli :
1. Woodruf
mendefinisikan konsep sebagai suatu
gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu
objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian
terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan
persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu
gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada
tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang
telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu.
2. Dari
wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Konsep merupakan abstrak, entitas
mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu
entitas, kejadian atau hubungan. Pengertian Konsep sendiri adalah universal di
mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap extensinya. Konsep juga dapat diartikan pembawa arti.
3. Soedjadi
mendefinisikan konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk menagadakan klasifikasi
atau penggolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangakaian kata.
4. Bahri
menjelaskan konsep adalah satuan ahli yang mewakili sejumlah objek yang
mempunyai ciri yang sama.
Konseptual
adalah batasan pengertian tentang konsep yang masih bersifat abstrak yang
biasanya merujuk pada definisi yang ada pada buku-buku teks atau tulisan imiah.
Ada berbagai
macam definisi dari konseptualisasi diantaranya:
1. “Conceptualization
Is the process of identifying and clarifying concepts; through which we specify
what we mean by using certain terms” Konseptualisasi adalah
proses mengidentifikasi dan menjelaskan konsep-konsep; dimana
kita menentukan apa
yang kita maksud dengan menggunakan istilah tertentu.
2. “Indicators indicate the presence or absence
of the concept we are studying. These often are multi-dimensional; they have
more than one specifiable aspect of facet. E.g.
happiness.” Indikator
menunjukkan ada atau tidak adanya
konsep yang kita pelajari. Ini sering disebut
multi-dimensi, mereka memiliki lebih dari
satu aspek specifiable dari
facet. Misalnya kebahagiaan.
3. Konseptualisasi
adalah proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada gejala-gejala
pengamatan. Proses ini berjalan secara induktif, dengan mengamati sejumlah
gejala secara individual, kemudian merumuskannya dalam bentuk konsep. Konsep
itu sifatnya abstrak, sedangkan gejala itu bersifat konkrit. Konsep berada
dalam bidang logika (teoretis), sedangkan gejala itu berada dalam dunia empirik
(factual). Memberikan konsep pada gejala itulah yang disebut dengan
konseptualisasi.
Berdasarkan
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konseptualisasi masalah dalam
konseling merupakan proses pembentukan konsep dengan
bertitik tolak pada masalah
yang dialami konseli dengan tujuan agar konseli mampu menyelesaikan masalah
yang dialaminya secara mandiri.
B. Model
Konseptualisasi Masalah dalam Konseling
Berikut ini model-model konseptualisasi masalah dalam
konseling:
1)
Model Konseptualisasi Masalah
menurut Swesen
Contoh Kasus :
Seorang
anak laki-laki yang bernama Rian, dia siswa kelas X di salah satu SMA Swasta
yang mempunyai bakat dalam hal berenang. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa
keluarganya tidak bersikap adil
terhadapnya karena keluarganya selalu menganggap kakaknya lebih unggul
dari rian dan hal tersebut mengakibatkan rian merasa tertekan. Dia
menampakkannya dengan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan
tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini
telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola
kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya
lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab,
dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah.
Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan
pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti
kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet
renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan
pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi
kompetisi dan mengikuti test.
Tabel Model konseptualisasi masalah dari Swensen
PERILAKU
MENYIMPANG
|
TEKANAN KEBIASAAN ADAPTIF (KEADAAN LINGKUNGAN YANG TIDAK MENDUKUNG
|
DUKUNGAN POTENSI KEBIASAAN
ADAPTIF
|
HASIL
DUKUNGAN POTENSI KEBIASAAN ADAPTIF
|
Memulai perkelahian
|
Memiliki kakak laki-laki yang
lebih unggul
|
Konselor bersedia membantu
memecahkan masalah klien
|
Kinerja dalam kompetisi baik
|
Mengambil milik teman
|
Hubungan dengan orang tua tidak
harmonis
|
Pelatih renang ingin membantu
agar klien tetap menjadi anggota team renang
|
Mengikuti latihan renang secara
teratur
|
Menentang guru
|
Kelas yang tak teratur
|
Kesehatan baik
|
Mengerjakan tes dengan jujur
|
Kurang bertanggung jawab
|
Merasa cemas dalam situasi yang
tak teratur, khususnya di sekolah
|
Menjadi anggota team renang
|
Dapat mengikuti instruksi pelatih
renang
|
|
|
Skor IQ tinggi
|
Secara umum dapat
menampilkan dirinya dengan baik dalam situasi kompetitif dan terstruktur
|
|
|
Pola makan dan tidur
baik
|
|
Model
konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk
beberapa hal, diantaranya :
· Pertama, model Swensen dapat digunakan oleh
konselor untuk melihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada
diri kliennya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis
menyangkut masalah klien.
Hal ini
dapat dilihat dari hasil contoh kasus yang telah dikemukakan maka dapat
memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak laki-laki yang menampakkan
sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di
sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon
terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti
menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya,
bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam
situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia
memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya.
Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik,
intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di
sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan
adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan
mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat
beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku klien, meliputi (tetapi tidak
terbatas) hal-hal berikut :
1.
Terdapat
banyak kompetisi di dalam diri klien dan saudaranya yang lebih tua untuk
memperoleh perhatian orang tua. Klien seringkali merasa bahwa saudaranya lebih
banyak mengalahkan dirinya.
2.
Klien
tidak pernah merasa harus bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya.
3.
Klien
mungkin merasa bahwa masalahnya memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan
perkawinan orang tuanya.
4.
Klien
merasa tidak senang dalam suatu situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan
bukti respon adaptif dalam situasi yang terstruktur dan agak kompetitif.
Kenyataannya, klien sepertinya dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi
sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia mampu berenang dengan baik.
· Kedua, model Swensen dapat membantu
konselor untuk memutuskan macam pendekatan perlakuan yang manakah (atau
kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk membantu klien. Seringkali
keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model teoritik, perkiraan, dan
dikaitkan dengan potensi/kekuatan.
Hal ini dapat dilihat pada konselor
yang menggunakan pendekatan berpusat pada pribadi (person-centered) mungkin memusatkan perhatian pada kurangnya
kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri klien. Konselor dari pendekatan
realita mungkin memperhatikan pada perilaku tidak bertanggung jawab klien dan
bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil tanggung jawab bagi
tindakan-tindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih memusatkan perhatian
pada situasi kompetitif antara klien dan saudaranya dan berupaya membantu klien
memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa memiliki yang lebih baik,
di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif analisisis transaksional akan
memandang klien dalam hubungannya dengan orang lain dari kondisi “ego anak” nya
dan kemudian berusaha menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah perilaku
klien. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi, atau
tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian klien, seperti
dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan klien, dan juga pada gagasan
introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat klien. sedangkan para konselor
kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau
pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku
maladaptif klien dan kemudian berusaha untuk membantu klien untuk menghentikan
atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif.
Pada konseling keluarga (family counseling) akan memusatkan perhatian pada peran dan
batas-batas hubungan keluarga klien dan pada hubungan perkawinan orang tuanya.
Sedangkan para
konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada pengubahan sebab-sebab
yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif klien dan kemudian memperkuat
kebiasaan perilaku adaptif klien. Idealnya, keputusan tentang pendekatan mana
yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada sejumlah faktor, tidak
hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu teori konseling
tertentu.
Alih-alih mengedepankan preferensi
teoretiknya, konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki
kemungkinan paling baik untuk membantu klien memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkannya.
· Ketiga, cara yang lebih umum dimana model
konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa
rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang
dalam denominator. Menurut Swensen, “Banyak penurunan dalam faktor numerator
formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan) dapat mengurangi defisit
psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang didaftar di dalam denominator
(kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan adaptif)” dapat meningkatkan
kesehatan psikologis.”
2)
Model
Konseptualisasi Masalah menurut Seay
Model konseptualisasi masalah dari Seay mengintegrasikan teknik konseling dan isi
tematik. Model ini didasarkan pada tema hidup utama (dan gaya hidup) yang
ditarik dari tiga modalitas utama fungsi manusia yaitu: kognisi (pikiran),
afeksi (perasaan, emosi), dan perilaku (tindakan, kinerja), yang diberi akronim
“CAB.”
Contoh
kasus :
Klien
adalah seorang siswa kelas VIII
dengan jenis kelamin perempuan yang menyatakan tidak memiliki banyak pilihan
karena ia takut untuk pergi ke sekolah sendirian. Ia juga melaporkan mengalami
depresi yang disebabkan oleh kritik terus-menerus dari saudara-saudaranya
karena ketergantungannya itu. Klien juga mengalami gangguan tidur dan
kehilangan selera makan. Dari wawancara yang mendalam dengan klien diperoleh
informasi bahwa klien hidup dalam keluarga dengan ayah yang keras dalam
mendidik. Klien juga menyatakan, sebagai seorang anak ia sabar menghadapi
kekerasan ayahnya. Terhadap kritikan saudara-saudaranya, ia hanya mendengarkan
saja dan tidak memberikan tanggapan, meskipun ia menyatakan merasa “bosan” dan
“terganggu” dengan kritikan yang terus menerus itu. Klien juga menyatakan
keyakinannya bahwa ia seorang yang gagal dan tidak mampu untuk membuat
keputusan sendiri. Namun, data hasil tes menunjukkan bahwa ia sangat intelegen.
Prestasi belajar klien juga tergolong bagus karena ia berada pada ranking
sepuluh besar di kelasnya. Selama wawancara awal, ia seringkali menangis dan
berbicara dengan suara yang lirih dan tersendat-sendat.
Tabel Model konseptualisasi masalah
darai Seay
KEMUNGKINAN
LINGKUNGAN
|
KESALAHAN
KOGNITIF
|
GANGGUAN
AFEKTIF POLA PERILAKU
|
Cara mendidik ayah
yang keras
|
Pikiran gagal
|
Kecemasan/ketergantuang
emosional
|
Saudara terus-menerus
mengkritik
|
Menyalahkan diri
|
Tak dapat pergi ke
sekolah sendirian
|
|
Kurang percaya diri
|
Mendiamkan kritikan saudara-saudaranya
meskipun merasa bosan dan terganggu
|
|
|
Bicara pelan,
tersendat
|
|
|
Gangguan tidur
|
|
|
Kehilangan nafsu
makan
|
|
|
Kadang menangis dalam
wawancara
|
Informasi yang diungkap tersebut dapat
digunakan untuk mengembangkan hipotesis tentang masalah klien dan untuk
merencanakan suatu program bantuan yang komprehensip. Sebagai contoh, dalam
kasus yang telah dikemukakan, satu dari tema utama adalah kognitif dan meliputi
persepsi negatif tentang diri. Tema ini barangkali berawal dari kekerasan
ayahnya dan yang kemudian diperkuat/dipertahankan melalui kritikan yang terus
menerus dari audara-saudaranya. Meskipun kekasaran verbal yang terus menerus
tampak memberikan sumber tekanan, klien tampaknya juga menggunakannya sebagai
alat untuk menguatkan atau membenarkan persepsinya terhadap dirinya sebagai
orang tergantung dan gagal, dan mendorongnya untuk menghindari situasi yang
mendatangkan kecemasan, seperti berangkat ke sekolah sendiri.
Gangguan afektif dalam bentuk kecemasan
dan depresi mewakili perasaan marah dan tidak puas yang ditekan di dalam batin.
Emosi tersebut, seperti tema kognitif, menegaskan kurang adanya rasa percaya
diri atau cara klien mencela/mengutuk dirinya. Emosi ini sebagai hasil dari
peristiwa lingkungan dan kesalahan persepsi. Perilaku-perilaku yang dapat
diamati seperti menangis, bicara pelan dan tersendat, gangguan tidur, dan
kehilangan berat badan mengkonfirmasikan laporan klien tentang perasaan
depresifnya. Kesalahan persepsi kognitif dan gangguan afektif tersebut
mendukung klien untuk bertindak pasif terhadap kritikan saudaranya. Untuk
perencanaan perlakuan, fokus awal konselor dapat memusatkan perhatian pada peristiwa
lingkungan dan kesalahan kognitif
klien yang menyebabkan terbentuknya pola perilaku dan emosi maladaptif. Sebagai
contoh, klien mungkin dapat dibantu dengan menggunakan strategi Gestalt,
analisis transaksional, atau latihan asertif untuk mengeksplorasi
perasaan-perasaannya yang berkaitan dengan kekasaran ayah dan saudaranya
(peristiwa lingkungan) dan kemudian membantunya mengubah reaksinya terhadap
tekanan lingkungan tersebut. Teknik-teknik kognitif-perilaku dan
rasional-emotif mungkin juga efektif untuk menangani kesalahan persepsi atau
kognisi klien. Konselor juga dapat membantu klien melalui strategi perilaku
dengan cara melatih klien untuk berangkat ke sekolah sendirian.
3)
Model
Asesmen: Analisis masalah dari Lazarus
Lazarus menyatakan adanya tujuh modalitas yang dapat
dijadikan sebagai fokus asesmen masalah klien. Ketujuh modalitas tersebut
dinyatakan dalam akronim “BASIC ID” dan terdiri atas: perilaku (behavior), emosi (affect),
sensasi (sensation), imajeri (imagery), kognisi (cognition), relasi interpersonal (interpersonal), dan tampila fisik (drug). Setiap modalitas tersebut berinteraksi satu sama lain dan
tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah penjelasan dari msing-masing modalitas
tersebut.
B
|
Behavior (perilaku,
tindakan yang kasat mata)
|
Modalitas
ini berisikan aktivitas dan keterampilan-keterampilan psikomotor yang
sederhana dan kompleks seperti tersenyum, berbicara, menulis, makan, merokok,
dan sebaginya.
|
A
|
Affect (emosi,
perasaan)
|
Modalitas
ini meliputi perasaan atau emosi yang dilaporkan oleh klien. Termasuk didalam
kategori ini adalah perasaan-perasaan khusus yang muncul atau tidak muncul di
samping perasaan yang tersembunyi atau didistorsikan.
|
S
|
Sensation
(perasaan tubuh)
|
Modalitas
ini berisikan lima penginderaan utama dalam kaitannya dengan proses sensory
informasi, yakni: visul (sight), kinesthetic (touch), auditory (hearing),
olfactory (smell), dan gustation (taste). Modalitas juga berkaitan dengan
keluhan-keluhan perasaan tubuh yang dilontarkan klien seperti sakit atau
gangguan perut atau kepala pusing. Konselor perlu peka terhadap sensasi yang
dilaporkan dengan senang dan tidak senang di samping sensasi yang tidak
disadari klien.
|
I
|
Imagery
(imajeri)
|
Imagery
terdiri atas macam “gambaran mental” yang sangat mempengaruhi kehidupan
klien. Sebagai contoh, seorang suami yang berprasangka bahwa isterinya telah
berselingkuh (punya pria idaman lain atau PIL), tentu akan merasakan tekanan
(terganggu) karena ia mengembangkan suatu gambaran terus menerus atau imej
mental tentang isterinya yang tidur dengan pria lain.
|
C
|
Cognition
(kognisi)
|
Kognisi
adalah pikiran dan keyakinan klien tentang diri, lingkungan, pengalaman, dan
masalah yang sedang dialaminya. Gangguan perilaku timbul karena klien
memiliki kognisi – pikiran, persepsi, dan keyakinan – yang negatif, tidak
realistis, atau tidak rasional.
|
I
|
Interpersonal
(relasi interpersonal)
|
Banyak
ahli dari perspektif psikodinamik telah menekankan pentingnya hubungan
interpersonal. Menurut Lazarus, masalah yang berkaitan dengan relasi
interpersonal dapat dideteksi tidak hanya melalui laporan diri dan bermain
peran tetapi juga dengan mengamati hubungan konselor-klien.
|
D
|
Drug
(tampilan fisik)
|
Drug
merupakan suatu modalitas yang penting dalam asesmen, karena faktor-faktor
biologis dan neurologis dapat mempengaruhi perilaku, respon afektif, kognisi,
sensasi, dan sebagainya. Asesmen modalitas ini dapat meliputi: (1) penampilan
menyeluruh – cara berpakaian, gangguan kulit atau bicara, saraf, gangguan
psikomotor; (2) keluhan fisik atau penderitaan fisik; dan (3) kesehatan umum
– kebugaran tubuh, olah raga, diet, nutrisi, hobi, minat, kegemaran, dan
pengisian waktu luang.
|
4)
Model Konseptualisasi Masalah ABC
Konseptualisasi perilaku ABC adalah suatu pendekatan
untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku bermasalah dan peristiwa
lingkungan. ABC adalah akronim dari Antecedent (anteseden) atau
pristiwa-peristiwa yang mendahului atau ada sebelum perilaku, Behavior
(perilaku), dan Consequences (konsekuensi) atau peristiwa-peristiwa yang mengikuti
perilaku dan berpotensi mempertahankannya
Model ini menyatakan bahwa B dipengaruhi oleh A dan C, atau B merupakan fungsi
dari A dan C. A dan C memberikan penjelasan berkenaan dengan bagaimana
seseorang bertindak B dalam suatu situasi. Sebagai contoh, perilaku marah (B)
terjadi karena seseorang menemukan sesuatu yang tidak memuaskannya (A) dan
perilaku marah itu dipertahankan atau diperkuat oleh reaksi-reaksi dari orang
lain yang berupa ketakutan, membujuk, minta maaf, dsb. Mengikuti model ini,
wawancara asesmen atau studi kasus perlu memusatkan perhatian pada upaya
mengidentifikasi peristiwa-peristiwa antaseden dan konsekuensi yang
mempengaruhi atau berhubungan secara fungsional dengan gangguan perilaku klien.
Contoh lain adalah perilaku berbicara. Perilaku
berbicara kita selalu disebabkan oleh tanda-tanda tertentu, seperti adanya
orang lain yang menstimulasi kita untuk mengajaknya berbicara, atau karena ada
orang lain yang mengajukan pertanyaan pada kita atau membuat perilaku
tertentu sehingga mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan. Antaseden yang
mungkin dapat memperlemah keinginan kita untuk berbicara dapat meliputi antara
lain adanya perasaan takut jika tidak mendapatkan persetujuan/tanggapan positif
terhadap apa yang kita bicarakan atau bagaimana kita akan menjawab pertanyaan
yang mungkin akan muncul. Perilaku berbicara kita dapat dipertahankan oleh
perhatian verbal dan nonverbal yang kita terima dari orang lain itu.
Konsekuensi positif yang lain yang dapat menjaga perilaku berbicara kita adalah
adanya perasaan senang, atau bahagia ketika kita berbicara dengan orang. Kita
mungkin tidak akan bicara banyak jika orang yang sedang kita ajak bicara tidak
memperhatikan (memandang) kearah kita (menatap kemana-mana).
Perilaku (B) meliputi perilaku yang tampak dan tidak
tampak. Perilaku tampak adalah perilaku yang dapat dilihat secara langsung
seperti berbicara, tersenyum, menangis, berjalan, menulis, dan sebaginya.
Perilaku tidak tampak atau tertutup meliputi peristiwa-peristiwa internal di
dalam diri klien dan tidak dapat dilihat atau diamati secara langsung, tetapi dapat
dideteksi melalui ekspresi non
verbal atau laporan diri klien. Contoh perilaku nonverbal adalah berpikir,
berkeyakinan, image, dan merasa. Setiap gangguan perilaku hampir selalu
memiliki lebih dari satu komponen. Sebagai contoh, seorang klien yang mengeluh
“cemas” atau “depresi” mungkin melibatkan komponen afektif (pernyataan
perasaan, suasana hati), komponen somatik (sensasi yang berkaitan dengan tubuh
dan fisiologis), komponen perilaku (apa yang dilakukan dan tidak dilakukan
klien), dan komponen kognitif (pikiran, keyakinan, image, atau dialog
internal). Dan
lagi, pengalaman kecemasan atau depresi dapat bervariasi untuk klien,
tergantung pada faktor-faktor kontekstual (waktu, tempat, peristiwa yang
terjadi bersamaan) dan pada faktor relasional seperti ada atau tidak adanya
orang lain. Semua komponen tersebut
dapat dikaitkan dengan suatu problem khusus yang dilaporkan. Sebagai contoh,
anggaplah bahwa klien kita yang menyatakan “merasa cemas” adalah takut dengan
perbuatan yang mengandung resiko di masyarakat kecuali di rumah atau di tempat
kerja. Ia menyatakan bahwa kecemasannya nampak menjadi bagian dari rangkaian
yang berawal dari munculnya pikiran bahwa ia tak mampu untuk memecahkan atau
memperoleh bantuan dari orang lain jika perlu (komponen kognitif). Komponen
kognitif tersebut menyebabkan klien sering merasa ketakutan (afektif) dan berkeringat
dingin atau denyut jantungnya meninggi (somatik). Tiga komponen tersebut
bekerja bersama-sama mempengaruhi perilaku tampak klien.
Berbagai bentuk perilaku dan reakasi-reaksi
emosional dan somatik seperti marah, takut, gembira, pusing, atau meningkatkan
tekanan darah disebabkan oleh adanya peristiwa-peristiwa yang mendahului atau
stimuli (Anteseden). Anteseden mempengaruhi perilaku dengan meningkatkan atau
menurunkan kemungkinan kejadiannya. Sebagai contoh, seorang siswa kelas satu SD
dapat bertindak secara berbeda ketika di sekolah dan di rumah, atau berbeda
terhadap guru tetap dan guru pengganti. Suatu anteseden yang berdekatan dengan
perilaku menyimpang secara teknis disebut stimuli. Berbagai bentuk anteseden
itu antara lain adalah usia, taraf perkembangan, keadaan fisiologis,
karakteristik kerja, rumah, atau
kondisi sekolah, dan perilaku-perilaku lain yang muncul dan mempengaruhi
perilaku-perilaku berikutnya.
Anteseden juga dapat bersumber pada komponen afektif
(pernyataan perasaan, suasana hati), perilaku (respon verbal, nonverbal, dan
motorik), kognitif (pikiran, keyakinan, image, dialog internal), kontekstual
(waktu, tempat, peristiwa yang terjadi bersamaan), dan relasional (ada atau
tidak adanya seseorang). Sebagai contoh, seorang klien yang menyatakan “cemas”
mungkin berkaitan dengan takut kehilangan kontrol (kognitif/afektif), memiliki
persepsi negatif tentang diri dan orang lain (kognitif), kesadaran tentang
sensasi tubuh yang berkaitan dengan ketakutan, kelelahan, dan kecenderungan
hypoglycemic (somatik), bangun terlambat (perilaku), menghadiri tempat umum
(kontekstual), dan tidak adanya orang lain yang dekat dengan dirinya seperti
teman dan keluarga (relasional).
Di samping itu, juga terdapat variasi sumber
anteseden yang dapat meniadakan kecemasan, seperti perasaan rileks, atau
mengurangi ketakutan terhadap terjadinya peristiwa (afektif), istirahat
(somatik), makan dengan teratur atau mengurangi perilaku tergantung pada orang
lain (perilaku), menilai diri dan orang lain dengan positif (kognitif), dan
keinginan untuk berhubungan dengan orang lain (relasional). Pengaruh anteseden
pada perilaku dapat bervariasi, tergantung pada pengalaman belajar tiap
individu. Tidak segala sesuatu yang mengikuti perilaku secara otomatis
dipandang sebagai konsekuensi (C). Sebagai contoh, anggaplah Anda sedang
melakukan konseling dengan seorang siswa putri yang kelebihan berat tetapi
menyenangi kegiatan pesta dan makan-makan. Klien tersebut menyatakan bahwa
dirinya merasa bersalah setiap kali habis persta makan dan memandang dirinya
menjadi tidak menarik, dan mengalami gangguan tidur. Meskipun
peristiwa-peristiwa tersebut sebagai hasil dari perilaku pesta makan, itu
bukanlah konsekuensi, kecuali ia dapat mempengaruhi kesenangan klien untuk
persta makan. Dalam kasus ini, peristiwa-peristriwa lain yang mengikuti
perilaku pesta makan dapat menjadi konsekuensi yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, barangkali perilaku senang makan
dapat dipertahankan melalui kenikmatan yang ia peroleh ketika makan. Perilaku
tersebut untuk sementara waktu mungkin dapat dikurangi bila orang lain,
misalnya kekasihnya, menegurnya atau menolak pergi dengannya untuk bermalam
mingguan. Konsekuensi dapat berbentuk ganjaran atau hukuman. Ganjaran adalah
sesuatu yang menyenangkan mengikuti munculnya perilaku yang diharapkan.
Sedangkan hukuman adalah sesuatu yang tak menyenangkan mengikuti munculnya
perilaku. Seperti halnya anteseden, sesuatu yang berfungsi sebagai konsekuensi
dapat bervariasi dari klien ke klien. Seperti halnya anteseden, konsekuensi juga
selalu memiliki lebih dari satu sumber atau tipe peristiwa. Sumber-sumber
konsekuensi tersebut dapat bersifat afektif, somatik, perilaku, kognitif, kontekstual,
dan/atau relasional.
Individu juga cenderung untuk bertindak dalam suatu
perilaku yang memiliki banyak payoffs. Payoff adalah sesuatu yang segera
diperoleh oleh individu mengikuti perilakunya. Sebagai contoh, seorang klien
terus menerus merokok bahkan meskipun untuk itu ia kehilangan banyak uang
karena ia menyenangi perasaan yang segera diperolehnya ketika merokok, dan
merokok dapat membantunya menangani tekanan. Seorang klien laki-laki
terus-menerus mengeluarkan kata-kata kasar terhadap kekasihnya bahkan meskipun
hal itu sering menimbulkan ketegangan, karena dengan kekasarannya itu ia
memperoleh perasaan kuasa dan kontrol. Dalam dua contoh tersebut, perilaku
bermasalah seringkali sulit berubah, karena konsekuensi yang dengan segera
membuat orang merasa lebih baik. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa anteseden,
konsekuensi, dan komponen-komponen masalah harus ditaksir dan diidentifikasi
untuk setiap klien karena komponen-komponen tersebut berlakunya dapat
bervariasi antara klien ke klien. Demikian pula penting juga untuk diingat
bahwa seringkali terdapat banyak overlap di antara anteseden, konsekuensi, dan
komponen perilaku bermasalah.
Tabel
model konseptualisasi ABC
A
|
B
|
C
|
Tidak pernah puas
dengan keadaan
|
Marah
|
Dijauhi teman
|
Merasa kurang mampu
dalam mapel tertentu
|
Minder
|
Tidak dapat
berkembang (pasif)
|
Keadaan fisiknya
terlalu kegemukan
|
Malu, minder
|
Diejek teman-teman
|
Cita-cita tidak
disetujui oleh orang tua
|
Marah
|
Frustasi
|
Kondisi kesehatan
menurun
|
Kurang PD
|
Kurang dekat dengan
teman-teman
|
C.
ANALISIS
MASALAH
1.
Pengertian
Analisis Masalah
Dalam menguraikan suatu pokok masalah, kita perlu
melakukan analisa masalah. Analisa menurut kamus bahasa Indonesia berarti
penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan atau perbuatan) untuk
mengetahui keadaan sebenarnya (baik sebab maupun duduk perkara). Sehingga
dengan melakukan suatu analisa, kita bisa menguraikan pokok permasalahan dari
berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Berikut ini adalah
pengertian dan definisi analisa:
a.
JEFFREY LIKER
Analisa
adalah waktu untuk mengumpulkan bukti, waktu untuk berulangkali bertanya
"mengapa?" dan untuk menemukan sumber suatu masalah, yaitu akarnya
b.
Dwi Pratowo Darminto dan Rifka Julianty,
memberikan definisi lain mengenai pengertian analisis. Menurut mereka analisis
adalah sebuah langkah penjabaran sebuah permasalahan dari setiap bagian dan penelaahan bagian itu untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat serta arti yang keseluruhan dari masalah tersebut.
c.
Menurut Komaruddin, analisis merupakan sebuah aktivitas berpikir
untuk menguraikan sebuah masalah yang menyeluruh menjadi beberapa bagian.
Dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri dari setiap komponen tersebut, serta
bagaimana hubungan yang ada pada masing-masing komponen beserta
fungsinya sehinga bisa membentuk sebuah kesatuan yang memiliki makna baru.
Berdasarkan
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis masalah merupakan
aktivitas berpikir untuk menguraikan suatu masalah menjadi lebih rinci berdasarkan
data-data yang diperoleh.
2.
Fungsi Analisa
Analisa merupakan sebuah komponen yang harus ada
dalam setiap aktivitas penelitian. Tanpa adanya analisa, maka sebuah
penelitian yang dilakukan tidak akan bisa didapatkan sebuah nilai tambah yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Ada beberapa fungsi yang menjadikan analisa atas
sebuah masalah menjadi hal penting. Beberapa fungsi dari suatu analisa adalah :
1.
Analisa diperlukan sebagai upaya untuk
mengenali dan proses identifikasi dari permasalahan yang ada pada penelitian
yang dilakukan. Dengan demikian, pada nantinya, dari permasalahan yang muncul
bisa diurai satu persatu mengenai apa saja yang memiliki hubungan atas
munculnya sebuah masalah pada obyek penelitian.
2.
Analisa diperlukan untuk bisa memberikan
keterangan secara spesifik dan terperinci mengenai hal-hal apa saja yang akan
dicapai dalam upaya memenuhi kebutuhan dari obyek penelitian.
3.
Analisa yang tepat akan mempengaruhi
kesimpulan sebuah penelitian. Untuk itu, dalam melakukan analisa atas hasil
penelitian, seorang peneliti harus melakukan dengan hati-hati serta
memperhitungkan berbagai macam faktor dan data yang didapat dalam penelitian
tersebut.
4.
Hasil analisa akan digunakan sebagai
dasar untuk melakukan sebuah tindakan yang memiliki nilai lebih pada obyek
penelitian. Dengan kata lain, hasil analisa akan mempengaruhi pembuatan
kebijakan atau strategi.
5.
Analisa akan dibutuhkan sebagai media
untuk mencari jalan alternatif atas permasalahan yang ditemukan dalam
penelitian tersebut. Hal ini bisa dimungkinkan karena dalam proses analisa akan
dilakukan tahapan penguraian masalah secara detail.
Analisa
merupakan tahapan awal dalam proses perencanaan serta penerapan rancangan
sistem yang sesuai dengan kebutuhan dari obyek penelitian.
3.
Peran Analisa
Dengan adanya beberapa manfaat dari sebuah
proses analisa tersebut, menunjukkan bahwa proses analisa ini memiliki peran
yang sangat penting dalam menciptakan kemajuan sebuah organisasi.
1.
Dengan analisa, sebuah
organisasi akan bisa bergerak dari kondisi yang sudah ada, menuju pada kondisi
yang lebih baik lagi.
2.
Selain itu, peran dari analisa
adalah bisa melakukan deteksi apabila terjadi permasalahan dalam sebuah
organisasi. Sehingga apabila ada hal yang kurang beres atau muncul kesalahan
baik yang disegaja atau tidak bisa dicegah sejak awal.
3.
Melalui proses analisa, kita
bisa melihat adanya kesempatan dalam aktiivtas yang kita lakukan. Sebab, dengan
analisa ini kita bisa melihat potensi dan kekuatan yang ada pada diri sebuah
kelompok dan juga kesempatan yang
terbuka. Selain itu, melalui proses analisa akan bisa ditentukan langkah yang
bijak untuk menciptakan proses komando atau perintah dari setiap garis kelompok
yang ada secara tepat.
4.
Ruang Lingkup Permasalahan Siswa
Sumber: Miller, F. W..( faizperjuangan.files.wordpress.com/)Guidance; Principles
and Services, Ohio: Charles E. Merrils Books, Inc.
1.
Kondisi keluarga/rumah dan lingkungan
2.
Pengalaman atau latar belakang
pendidikan sebelumnya
3.
Problem kesehatan
4.
Kemampuan dan Bakat
5.
Minat
6.
Aktivitas Luang
7.
Penyesuaian diri (sosial dan emosional)
8.
Pengalaman kerja
9.
Perencanaan dan Manajemen Diri
Problem-problem yang muncul dalam dunia pendidikan
menengah sering diasosiasikan dengan problem-problem khas remaja (Sumber:
Noonan, E. Counseling
Young People, London & New York:
Tavistock/Routledge). Menurut Noonan, proses konseling yang dilakukan terhadap
remaja hendaknya terfokus pada aspek perkembangan psikologis remaja, yaitu
periode transisi dari remaja menuju dewasa.
Adapun kecenderungan permasalahan
yang muncul, seperti:
1. Krisis
identitas dan peran model (teori krisis perkembangan Erikson)
2. Problem
seksualitas dan kesehatan reproduksi
3. Relasi
dengan teman sebaya, orang tua, dan lingkungan masyarakat
4. Rasa
ingin tahu yang besar (curiosity)
5.
Sistematika Analisis Kasus
Dalam menghadapi suatu kasus yang dialami oleh
seseorang, terdapat tiga fokus penting yang perlu didenahkan secara sistematis,
yaitu pemahaman, penyikapan, dan penanganan.
Ø Tujuan
Pemahaman kasus
a.
Mengetahui lebih mendalam dan detail
berbagai seluk-beluk kasus atau masalah
b.
Mendeskripsikan konsep atau ide-ide
tentang rincian masalah, kemungkinan sebab dan akibat.
Ø Penyikapan
Pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi,
dan perlakuan terhadap subjek dan objek masalah yang disikapi. Unsur kognisi
mengacu pada wawasan, ideologi, dan pemikiran konselor tentang kodrat
eksistensi manusia, hakikat dimensi kemanusiaan dan pengembangannya, pengaruh
lingkungan, dan lain-lain (asumsi filosofis, sosio-antropologis, dan
psikologis). Unsur afeksi menyangkut suasana perasaan, emosi, dan kecenderungan
sikap konselor kaitannya dengan permasalahan individu. Sedangkan unsur
perlakuan (treatment) berkaitan erat dengan perencanaan tindakan dan
bantuan yang akan diberikan.
Ø Penanganan
Penanganan kasus biasanya dipandang sebagai
keseluruhan perhatian dan tindakan konselor/guru atau helper lainnya
terhadap kasus yang dialami oleh seseorang yang membutuhkan layanan. Secara
khusus, penanganan kasus dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan khusus
secara langsung yang diberikan pada subyek dan obyek masalah tertentu dengan
tujuan teratasi dan terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan.
Dalam pengertian yang lebih klinis, sistematika
analisis kasus lebih dikenal dengan tahapan-tahapan berikut ini: identifikasi
masalah, diagnosis, prognosis, dan terapi.
Contoh analisis
masalah:
1. Identifikasi
Kasus
Konseli adalah siswa SMP N 5 Adiwerna yang sekarang
duduk di kelas VII, klien anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya bersekolah
di SD N Pegirikan 03 kelas 2 dan yang satunya lagi masih berumur 3 tahun dan
belum sekolah. Kondisi sosial ekonomi orang tua konseli cukup baik dan
berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibunya sebagai ibu
rumah tangga yang aktif dalam organisasi di desa. Ayah konseli menjabat sebagai
ketua RT di lingkungannya.
Setiap hari klien pergi ke sekolah dengan naik
sepeda bersama teman-temannya karena jarak antara rumah dan sekolahnya tidak
terlalu jauh. Kadang-kadang jika tidak banjir konseli juga berangkat dengan
berjalan kaki menyeberangi sungai, dengan menyeberang sungai dapat
mempersingkat waktu perjalanan dari rumah menuju sekolah.
Konseli termasuk pribadi yang mudah bergaul dengan
teman-temannya. Dia bukan termasuk pribadi yang suka pilih-pilih teman. Tapi
dalam prestasi belajar konseli mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan.
Pada saat kelas 4 SD konseli tidak naik kelas, nilai mata pelajarannya kurang
atau dibawah KKM. Sehingga gurunya mengambil keputusan konseli tidak naik
kelas. Tapi untungnya setelah mengulang satu tahun konseli dapat naik kelas
sampai lulus dari SD dan diterima di SMP Negeri.
Akhir-akhir ini klien merasa susah atau sulit
berkonsentrasi saat belajar di rumah. Pada saat belajar kondisi rumah ramai
karena kedua adiknya yang masih kecil sering ribut, dan klien tidak mempunyai
kamar pribadi. Dia selalu berusaha untuk lebih baik karena dia tidak menginginkan
masa lalunya terulang kembali. Konseli ingin selalu naik kelas dengan nilai
yang baik. Tetapi pada saat konseli sudah mulai rajin belajar lingkungan
rumahnya tidak mendukung.
2.
Analisis
Berdasarkan data
yang telah terkumpul dari hasil wawancara, maka dapat dianalisis bahwa konseli
pada dasarnya merupakan pribadi yang mudah bergaul, supel dan tidak suka
pilih-pilih teman. Keluarganya juga cukup mampu jika dilihat dari segi
ekonominya. Tetapi karena konseli mempunyai adik yang masih kecil-kecil
ditambah tidak tersedianya kamar pribadi untuk konseli di rumah maka konseli
merasa terganggu konsentrasinya saat belajar.
3.
Diagnosis
Berdasarkan data
kasus yang diperoleh konselor maka dapat dinyatakan tentang diagnosis yang
dialami konseli yaitu tentang sulitnya berkonsentrasi saat belajar dirumah
karena kondisi rumah yang tidak mendukung, yaitu terlalu ramai.
Sebab-sebab
munculnya kasus ini antara lain : konseli mempunyai adik-adik yang masih kecil
dan sering ribut, karena ayah konseli bekerja sebagai wiraswasta maka banyak
tamu yang datang kerumah, serta tidak tersedianya kamar pribadi untuk konseli
di rumah. Orang tua konseli sudah berusaha menegur adik-adiknya jika sedang ribut, tapi yang ada mereka malah
menangis dan suaranya tambah mengganggu konsentrasi belajar konseli.
Dalam menghadapi
kasus ini konseli mempunyai dinamika psikis yang dapat dikategorikan :
Ø Dinamika
psikis positif konseli ditunjukkan dengan perilaku :
a. Konseli
sudah bersedia mengemukakan masalahnya kepada konselor tanpa ragu-ragu dan tidak malu.
b. Konseli
nampak santai dalam bercerita kepada konselor.
c. Dalam
proses konseling, konseli mengikutinya dengan aktif.
d. Konseli
sudah berusaha belajar dengan rajin untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu
yang tidak naik kelas.
Ø Dinamika
psikis negatif konseli ditunjukkan dengan perilaku :
Konseli kurang terbuka kepada orang
tuanya, dia tidak berani mengemukakan masalahnya kepada orang tuanya.
4.
Prognosis
Setelah
dilakukan analisis dan diagnosa, maka alternatif bantuan yang perlu diberikan
kepada konseli adalah :
a. Memberikan
pemahaman kepada konseli bahwa sebenarnya dia sudah mempunyai dasar yang kuat
yang berupa semangat yang kuat untuk memperbaiki prestasi belajarnya.
b. Membantu
konseli supaya mampu menerima keadaan lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan
keinginannya.
c. Mencoba
memberi alternative pemecahannya bagi konseli untuk mengatasi masalah yang
dialaminya.
5.
Treatment
Pada masalah
kurangnya konsentrasi belajar yang disebabkan kondisi rumah yang tidak kondusif
yang menyebabkan konseli tidak dapat belajar dengan nyaman menggunakan
pendekatan Realita, karena salah satu tujuan pendekatan ini adalah membantu
konseli supaya mampu melepaskan dukungan lingkungan dan mengganti dengan dukungan pribadi. Dalam hal ini
diharapkan konseli mampu menggunakan semangat belajarnya untuk dapat belajar dengan
baik walaupun keadaan lingkungan rumahnya tidak mendukung.
6.
Evaluasi
a. Penilaian
Proses
Kegiatan konseling individu ini
berjalan dengan lancar. Dalam mengikuti proses konseling, konseli selalu aktif
dalam menceritakan masalah yang dialaminya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan oleh konselor.
b.
Penilaian hasil
Setelah melakuakn kegiatan
konseling, konseli mempunyai gambaran tentang bagaimana cara mengatasi keadaan
lingkungan yang tidak mendukung dalam proses belajar.
7.
Tindak
Lanjut
Memonitor perkembangan konseli.