Pentingnya Bimbingan Konseling di
Sekolah (Oleh :St Kartono)
TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh
pandangan umum; demi mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan,
tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi
negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum
menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik
(sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan
peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu
memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk
perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan
kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi,
pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan
pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan. Situasi demikian
diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan
lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah.
Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan
pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut
disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang
menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai
“musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal. Penulis merujuk pada rumusan Winkel
untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi
siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah
(perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak.
Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana
yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi
yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan
orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat
efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan
menegaskan pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan
para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah
bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang
berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa mbolosan,
berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi
sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada
bersama-sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal
yang bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah
terjebak dalam tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam
pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri.
Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian,
cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun,
jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan
atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki
gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah
bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka
semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK
dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga
ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa
waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan,
setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri
diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan
bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan
anak mereka.
Tantangan
pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru
datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang
tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada
kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti
disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus
perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus
dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan
tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa
pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK
yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang
disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca:
mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK
sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang
sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan
peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang
hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi,
sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh
perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam
proses kependidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar